Keutamaan Ilmu
Menempatkan Ilmu dan Pencarinya Pada Posisi Yang Mulia
1.Majlis ilmu memberikan banyak faidah
Salah satu karunia Allah yang besar adalah seseorang diberi taufiq mendapat kesempatan hadir di majelis yang mulia, yaitu majelis ilmu. Majelis itu adalah majelis dikatakan;
لا يشقى بهم جليسهم
“tidak ada seorangpun yang duduk bersama mereka mengalami kesengsaraan ataupun kerugian.”
Artinya siapapun yang duduk di majelis ilmu, maka dia akan mendapatkan suatu keberuntungan dan ini sifatnya pasti, pasti beruntung, tidak akan mengalami kerugian sedikitpun. Sampai-sampai disebutkan dalam hadits riwayat Abu Dawud
وَإِنَّ الْمَلَائكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَصْنَعُ
“Sungguh para malaikat itu, mereka meletakkan sayap-sayap mereka, yang mana mereka itu ridha dengan apa yang dilakukan oleh para thullabul ilmi atau penuntut ilmu tersebut.”
Di mana ? di majelis-majelis ilmu di atas setiap penuntut ilmu. Jadi masing-masing kita, di atas kita itu sebetulnya dinaungi oleh sayap-sayap malaikat.
Bahkan orang-orang yang ingin mendapatkan ketenangan itu salah satu saat atau momen Allah menurunkan ketenangan itu adalah dalam majelis ilmu
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِيْ بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ
“Allah turunkan ketenangan, Allah berikan kepada orang-orang yang duduk dalam majelis ilmu Allah limpahkan kepada mereka rahmat-Nya.
2.Mendatangi majelis ilmu menjadi akhlaq kemenangan generasi sahabat
Masih ada keutamaan menghadiri majelis ilmu, Ini membuat para sahabat nabi saw, mereka sangat senang dan bersungguh-sungguh mendatangi majelis ilmu. Keutamaan ini terdapat dalam pembahasan akhlaqun nashri fi jailis shahabah (
Jadi apa yang bisa membuat para sahabat nabi itu mendapatkan kemenangan yang gemilang. Apa akhlaq dan karakter yang mereka miliki?, itu salah satunya adalah alhirshu ‘ala thalabil ilmi atau ‘ala tafaqquh fid diin (bersungguh-sungguh dalam tafaqquh fiddiin) atau dalam menghadiri majelis ilmu. Sampai-sampai Umar bin Khattab ra yang rumah beliau itu berada di dataran tinggi Harrah di kota madinah, perkampungan madinah yang kampung itu berbatasan dengan perkampungan yahudi. Sehingga pada malam hari ada kekhawatiran dari keluarga-keluarga sahabat mendapat gangguan orang-orang yahudi, sementara di sisi yang lain, mereka merasa rugi jika tidak menghadiri majelis ilmu bersama nabi. Jadi sesuatu yang menjadi delima, jika mereka meninggalkan rumah, khawatir akan diganggu orang yahudi, namun jika mereka di rumah akan ketinggalan ilmu karena tidak menghadiri majelis nabi saw. Maka apa yang diperbuat oleh umar ? beliau bersepakat dengan tetangganya. Ada seornag sahabat yang rumahnya bertetangga dengan Umar bin Khaththab. Apa kesepakatan mereka ? kata umar bin khattab, kita sepakat,
Malam ini engkau yang datang ke menghadiri majelis nabi saw, aku yang menjaga keluargamu, sekaligus aku keluarga keluargaku dan engkau yang hadir ke majelis nabi saw. Nanti kalau engkau pulang, engkau sampaiakan apa yang engkau dapatkan dari nabi saw supaya akupun tidak ketinggalan ilmu dari beliau. Jadi Umar tidak berangkat, bukan karena tidak mau menuntut ilmu, tapi ada keluarga besar yang harus dijaga. Karena orang yahudi itu suka usil dan mengganggu orang-orang muslimat waktu itu. Dan besoknya sebaliknya, besok aku yang hadir ke majelis rasul saw, engkau yang menjaga keluargaku sekaligus menjaga keluargamu. Nanti kalau aku pulang dari majelis nabi, aku sampaikan ilmu yang aku dapatkan dari beliau, begitu seterusnya. Ini menunjukkan al-hirsh, menunjukkan kesungguhan. Mereka tidak ingin ketinggalan dalam menghadiri majelis ilmu, maka sampai-sampai ada ungkapan di kalangan para safush shalih tentang mendapatkan ilmu;
لا يستطاع العلم براحة الجسد
“Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan bersantai-santai.”
Sekarang kita nyantai masih dapat ilmu, sambil tidur-tiduran, sambil buka youtube, bisa dengan ceramah para ustadz. Sambil duduk minum kopi, makan gorengan, bisa mendengarkan kajian-kajian islam. Kalau dahulu tidak hadir di majelis ilmu, ya tidak dapat ilmu. Makanya sekali mereka hadir, mereka manfaatkan betul, sebab mereka sadar betul waktu ini sangat berharga dan tidak bisa berulang kembali. Kalau kehadiran di majelis ilmu itu tidak dimanfaatkan, maka tidak bisa dikembalikan, diulangi momen yang sama di masa yang akan datang. Jedi betul-betul, Karena mereka merasa ingian sesuatu yang tidak mungkin dikembalikan, tidak mungkin terulang, maka momentum itu mereka gunakan sebaik-baiknya.
Kalau kita ini dengan teknologi yang ada ini semangatnya menjadi berkurang. Maka hadir di majelis ilmupun kadang-kadang tidak mendengar juga. Ahh inikan live facebook, nanti pulang bisa diputar ulang…. Apa yang tadi disampaikan itu bisa didengarkan lagi.
Ya meskipun mendengarkan kajian lewat facebook, lewat youtube, lewat media-media yang lain, itu bukan berarti tidak boleh dan tidak ada keutamaan. Tetap dapat ilmu, tetapi ketika kita bisa menghadiri secara langsung majelis ilmu di mana itu disampaikan, maka keutamaannya akan sangat luar biasa banyaknya. Sakinah itu akan benar-benar diturunkan, karena apa ? karena ketika kita hadir dalam majelis ilmu, akan berusaha bersungguh-sungguh, tapi kalau sambil santai tadi, ilmu yang akan kita dapatkan yang santai juga, sesuai dengan kesungguhan, bahkan mungkin tidak mendapatkan ilmu, kenapa? karena mendengarkannya sepotong-sepotong, akhirnya pemahamannya juga sepotong-sepotong. Karena pemahamannya sepotong-sepotong, mau mengamalkannya ragu, “tadi benar tidak seperti ini ? kayaknya tadi tidak seperti itu, kayaknya seperti ini,”. Jadi karena ragu akhirnya tidak jadi diamalkan.
Maka mari kita kembali kepada bagaimana para pendahulu kita itu menuntut ilmu. Karena secanggih apapun tegnologi hari ini, tetap itu tidak bisa menggantikan keberkahan kehadiran seseorang dalam majelis ilmu, tidak bisa digantikan. Belum lagi keutamaan-keutamaan yang lain yang didapatkan ketika seseorang hadir dalam majelis ilmu, lebih-lebih kalau itu dilakukan di masjid.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan imam al-Hakim dalam al-mustadraknya, rasulullah saw bersabda,
من غدا إلى المسجد لا يريد إلا خيرا يتعلمه أو يعلمه إلا كان أجره كأجر حج أو حجة تاما حجته
“Barang siapa yang berangkat ke masjid, niatnya ingin mempelajari atau mengajarkan ilmu, maka baginya pahala seperti melaksanakan ibadah haji yang sempurna.”
Ini tidak didaparkan kalau kita sambil tidur-tiduran di rumah sambil ngopi, sambil makan gorengan. Fadhilah dapat pahala haji sempurna tidak didapatkan. Kalau ilmunya mungkin ya dapat, meskipun berpotensi dapatnya sepotong-sepotong tadi itu, karena kalau di rumah itukan gangguannya banyak, makanannya, sambil makan tidak konsentrasi. Mungkin gangguannya anak, mungkin gangguannya istri, mungkin gangguannya tamu, mungkin gangguannya mati lampu karena hujan, macam-macam, sehingga tidak bisa maksimal mendapatkan ilmu. Tetapi kalau di dalam masjid, andaikata kita luput mendapatkan satu keutamaan, kita masih memungkinkan mendapatkan keutamaan-keutamaan yang lain. Katakanlah seseorang luput mendapatkan satu keutamaan, dia tidak begitu faham dengan materi, karena ada yang ngobrol atau ada sedikit ngantuk, keluar ke kamar mandi dan macam-macamnya, tetapi dia berusaha melazimi masjid, maka kata rasulullah saw:
“Orang yang berada di masjid, mengerjakan shalat, kemudian tetap di masjid sampai waktu shalat berikutnya, maka dia akan mendapatkan pahala mengerjakan ibadah shalat selama itu.”
انتظار الصلاة صلاة
“menunggu shalat adalah shalat”
Jadi menunggu waktu shalat, duduknya seseorang di dalam masjid itu dihitung mendapatkan pahala mengerjakan ibadah shalat.
Ini yang tidak didapat di rumah, jadi andai kata orang tadi tidak dapat ilmunya, tapi dia dapat duduknya, duduknya itu sudah berpahala mengerjakan shalat, setidaknya dari bakda maghrib sampai nanti isya. Setidaknya dia mendapat pahala shalat 50 menit atau 40 menit, ini luar biasa. Belum lagi keutamaan-keutamaan lain, yang tentunya kita berharap dengan menghadiri majelis ilmu, harapan besardan paling utama adalah kita mendapatkan ilmu.
3.Keutamaan ilmu lebih dicintai dari keutamaan ibadah,
Karena nabi saw dalam riwayat imam as-Suyuthi di dalam al-jami’ ash-shaghir, dengan sanad yang shahih, beliau telah bersabda:
فضل العلم أحب إلي من فضل العبادة
“keutamaan ilmu itu lebih aku sukai daripada keutamaan beribadah/beramal.”
Jadi ilmu itu lebih penting daripada amal itu sendiri. Makanya dalam riwayat yang lain dalam sunan Abi Dawud, kedudukan haditsnya shahih rasulullah saw bersabda:
فضل العالم على العابد كفضل القمر (ليلة البدر) على سائر الكوامب
Keutamaan orang berilmu atas orang yang beribadah, seperti perumpamaan bulan (malam purnama) di atas seluruh bintang-bintang.”
Bintang jika kita lihat di malam hari itu terang juga, bercahaya bintang itu. Jjika kita perhatikan dengan betul, bulan juga bercahaya. Akan tetapi ribuan bintang di langit itu kalau tidak ada bulan, bumi ini tetap gelap. Langitnya mungkin terang, karena banyak bintang-bintang, tetapi kita melihat di sekitar kita masih gelap. Karena sinarnya bintang itu tidak bisa menerangi permukaan bumi. bintang itu ya bersinar, Tetapi sinarnya hanya menyinari dirinya, dirinya terang dan terlihat dari jauh, tidak dapat menerangi bumi sementara bulan menerangi bumi meskipun cuma satu. Ketika lailatal badri, yaitu malam purnama, (jangankan malam purnama, masih setengah saja, kalau bulan itu muncul tidak ada awan, bumi ini terang, apa lagi kalau malam purnama, maka akan terang sekali. Begitu rasulullah saw memisahkan keutamaan orang yang berilmu, maka beliau mengatakan tadi. Sebab ahli ibadah itu manfaatnya adalah untuk dirinya sendiri. Memang dia akan menjadi orang shalih, ‘abid itu ya shalih. Mungkin dia gemar membaca qur’an, mungkin dia gemar puasa sunnah, gemar melakukan perbuatan-perbuatan baik, tetapi ‘aabid, kebaikannya hanya untuk dirinya. Seperti terangnya bintang yang hanya menerangi dirinya sendiri, ya bagus bintang itu terang, tapi bumi tidak bisa mendapatkan terangnya cahaya bintang. Tetapi orang yang berilmu, di samping dia orang yang berilmu, dengan ilmunya dia bisa beramal untuk pribadinya secara baik dan sempurna, orang berilmu dengan ilmunya dia bisa mengajarkan ilmunya pada orang lain. Sehingga bukan hanya dirinya yang baik beribadah, tetapi dia bisa membuat orang lainpun ibadahnya baik, karena dia mengajarkan ilmu itu kepada mereka. Sehingga manfaatnya bukan hanya untuk pribadi, tetapi juga untuk lingkungan sekitar, seperti halnya bulan, terangnya bukannya hanya untuk dirinya, tetapi bumi ini mendapat terangnya bulan. Semakin sempurna cahaya bulan, semakin teranglah bumi. Begitupun dengan ilmu, semakin baik ilmu yang dimiliki seseorang, semakin banyak ilmunya, maka akan semakin banyak orang lain bisa mengambil manfaat dari dirinya.
Maka ada suatu ungkapan dari imam ibnu hajar Al-asqalani, dalam kitab fathul Bari, munukil dari perkataan imamul haraki rahimahullah:
لايزال العالم عالما ما تعلم فإذا ترك العلم فإنه أجهل ما يكون
“Seorang yang alim, itu akan dikatakan alim selama ia masih terus mau belajar, kalau dia berhenti belajar, maka dia adalah sebodoh-bodoh orang yang ada saat itu.”
Ini adalah nasihat, nasihat ini bukan untuk kita, kalau kita inikan statusnya penuntut ilmu, orang yang belajar. Nasihat ini ditujukan kepada orang-orang yang berilmu. Kalau orang yang berilmu saja harus mengamalkan nasihat ini, maka lebih-lebih orang yang baru dalam proses mengumpulkan ilmu, mencari ilmu, itu lebih lagi.
Beliau mengatakan orang ‘alim, bukan muta’allim (orang yang belajar), ini ‘alim (orang yang berilmu). Jadi orang alim dikatakan alim, kalau dia mau terus belajar. Kalau dia berhenti belajar karena sudah ‘alim tadi, kemudian dia tidak mau mendalami ilmunya, tidak mau berguru, tidak mau mengaji, tidak mau mentelaah, maka dia akan menjadi orang yang paling bodoh.
Ini orang yang sudah berilmu saja kalau berhenti belajar, itu akan menjadi orang yang bodoh, bagaimana orang yang masih belajar kemudian berhenti.?
Yang sudah di puncak sebagai alim saja kalau berhenti menjadi ajhalu ma yakun (orang yang paling jahil), bagaimana orang ini baru menjadi thalibul ilmu (pencari ilmu), baru ngaji, baru belajar, belum sampai tingkatan ‘alim, kemudian berhenti ngajinya. Tidaka ada di dalam islam itu istilah surat tanda tamat, yang ada di sekolah formal, STTB (surat tanda tamat belajar). Tidak masalah, dikeluarkan surat itu sebagai tanda tamat belajar di sekolah tertentu, tetapi jika berbicara soal belajar yang haqiqi dalam kehidupan ini tidak ada kata berhenti.
Imam Ahmad bin Hambal; rahimahullah, beliau mengatakan sendiri tentang dirinya, diabadikan kata-kata ini oleh salah satu pengikutnya, yaitu imam Ibnu Jauzi dalam kitab manaqib imam Ahmad. Manaqib ini artinya biografi imam Ahmad. Apa kata imam Ahmad?;
حفظت ألف ألف حديث
“Aku telah hafal 1000 x 1000 hadits.”
Berapa itu …? Satu juta hadits. Hafal haddatsana, telah menceritakan kepadauku (gurunya), qala haddatsani fulan qala, haddatsani fulan, qala haddatsani sahabat qala rasulullah saw. Satu juta hadits itu dia hafal sekaligus perowinya dia pun hafal, tapi hari-harinya dilihat oleh murid-muridnya imam ahmad itu selalu masih membawa kertas, masih membawa pulpen, ditanya kepadanya;
أنت الإمام إلى متى تطلب العلم ؟
Engkau ini sudah menjadi imam, sampai kapan engkau akan mencari ilmu ?
Wahai imam, engkau ini sudah menjadi ulama besar, murid-muridmu juga begitu banyak tersebar, hadits yang engkau hafal sudah satu juta, mengapa engkau masih membawa pena dan kertas ? sampai kapan engkau terus belajar ? kata beliau;
مع المحبرة إلى المقبرة
“Aku akan tetap bersama botol tinta ini, sampai aku masuk ke liang kubur.”
Mahbarah itu adalah botol tinta, kalau sekarang bukan botol lagi, tapi sudah berupa pulpen dan kita bisa langsung nulis, tapi dahulu menggunakan botol, lalu dicelupkan baru nulis. Jadi menggunakan botol, pena, dan kertas.
Perkataan beliau mengandung arti, akau akan terus belajar sampai aku mati.
Ini orang yang sudah hafal satu juta hadits belum berhenti belajar. Ada orang yang hafal 42 hadits saja hafal, sudah tidak mau ngaji. 40 hadits saja cuma matannya saja tidak pake sanad, itupun tidak hafal, tapi sudah tidak mau ngaji lagi. Imam ahmad satu juta hadits sanad dan matan hafal beliau masih ngaji.
4.Membiayai orang menuntut ilmu
Imam Ahmad pernah ditanya;
متى الراحة ؟
“Kapan engkau istirahat ?”
Kalau sekarang, malam senin taklim, malam selasa taklim, malam rabu taklim, kamis subuh taklim, siang taklim lagi, tiada hari tanpa talk im. Itu bagus pak,… jangan dicela kalau ada orang-orang seperti itu. Itu perlu didukung, bila perlu didanai pak. Kalau ada orang yang sungguh-sungguh ingin terus ngaji dan karena kesungguhannya itu sampai dia tidak sempat cari uang, itu perlu didanai.
Ada dua saudara di zaman nabi saw, yang satu ini ngadu kepada nabi saw. ngadunya apa ? dia ini selalu ngasih duit kepada saudaranya, tapi yang dikasih duit itu tidak mau kerja, malah ngaji terus sama nabi. Lama-lama dia capek, capek dia ngasih tunjangan harian. Ini dia merasa, saya capek-capek kerja, ini enak-enakkan ngaji, tidak mau kerja. Maksud dia itu datang kepada nabi saw supaya nabi saw menasehati agar bekerja. Tujuannya supaya nashiat dari rasul lebih mengena.
Apa kata rasulullah saw ?
لعلك ترزق به
Kamu tahukan, Allah itu memberikan rizki, memurahkan rizkimu, melapangkan duniamu, itu karena engkau menjadi saudaramu itu. Engkau diberi rizki oleh Allah karena engkau menopang hidup saudaramu itu, jika engkau hentikan itu, Allah akan hentikan pula rizki untukmu. Inilah yang dijadikan dalil oleh para ulama tentang beasiswa bagi para penuntut ilmu. Ada anjuran bagi siapa yang ingin dilapangkan rizkinya oleh Allah, ketika ada orang-orang yang sungguh-sungguh mencari ilmu, dukung dan dorong orang itu. Bila perlu kamu tidak usah kerja, hidupmu saya yang tanggung. Mengapa ? karena di situlah keberkahan harta seseorang ketika dia menggungkannya untuk membiayai orang-orang yang berthalabul ilmi.
Jadi imam Ahmad ketika ditanya
متى الراحة ؟
“kapan engkau istirahat ?”
Kok belajar terus, kok ngajar terus. Karena imam ahmad itu punya dua pekerjaan, satu, dia juga belajar. Yang kedua dia juga mengajar. Bekerja tidak (beliau), bekerja juga, bekerjanya serabutan. Kadang beliau nyuci kuda, kalau sekarang itu ya cuci motor, cuci mobil. Imam Ahmad, dia kerja iya, ngajar juga iya, belajar juga iya.
Maka apa jawaban beliau ketika ditanya mata ar-rahah?
الراحة عند أول قدمي أقع في الجنة
“istirahatku itu nanti, ketika telapak kakiku ini menapaki pelataran syurga.”
Itulah istirahat yang sejati. Agar hidup ini tidak ada istirahat, tidak ada kata santai-santai, yang ada adalah al-jiddu wa Al-Ijtihad (sungguh-sungguh).
Jadi semua itu hendaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh. Bekerja untuk dunia sungguh-sungguh, berthalabul ilmu juga bersungguh-sungguh. Kalau kita mencari dunia tidak sungguh-sungguh, dunia juga tidak dapat, apa lagi mencari ilmu yang tidak kelihatan nominalnya. Kalau dunia itu bekerja itu hasilnya kelihatan, tapi jiga tidak bersungguh-sungguh, tidak dapat juga, itu yang kelihatan, maka ilmu harus lebih bersungguh-sungguh. Jika dia bersungguh, maka orang yang bersungguh-sungguh, kata nabi;