Menaungi Yatim Dan Dhuafa

Jangan Berhenti Bersedekah

0 3

Jangan berhenti untuk bersedekah, mengapa ? karena bisa luput dari keberkahan doa malaikat pagi hari.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ اْلعِبَادُ فِيْهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا : اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَيَقُوْلُ الْآخَرُ : اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

“Tiada hari para hamba itu bangun pagi melainkan sudah ada dua malaikat turun seraya berdoa, yang satu mengatakan; ya Allah berikanlah kepada orang yang berinfaq itu gantinya. Sementara yang lain mengatakan; ya Allah berikanlah kepada orang yang menahan (hartanya untuk berinfaq) itu kehilangan.” HR. Al-Bukhari no.1374 dan Muslim 1010

Harta yang Allah Ta’ala limpahkan kepada anak adam, Allah memberi mereka, baginya adalah fitnah. Tujuannya agar menjadi ujian mereka, apakah mereka menggunakan harta tersebut dengan baik atau tidak. Allah Ta’ala berfirman:

“sesungguhnya harta-harta kalian dan anak-anak kalian adalah fitnah, dan Allah memiliki di sisinya pahala yang besar.” QS. At-Taghabun: 15

Maka di antara manusia ada yang meninfakkan hartanya dalam memenuhi keinginan yang hukumnya haram, untuk bersenang-senang semata, di mana itu semua tidak menambah mereka melainkan semakin jauh dari Allah Ta’ala, sehingga hartanya menjadi mala petaka atasnya.

Dan ada pula manusia yang menginfakkan hartanya karena mengharap wajah Allah pada perkara yang menjadi sarana mendekat kepada Allah sesuai syariat Allah, maka yang ini menjadikan hartanya sebagai kebaikan baginya.

Ada pula manusia yang menghabiskan hartanya pada perkara yang tidak ada manfaatnya. Dia salurkan hartanya bukan pada perkara yang jelas haram tidak pula para perkara yang jelas ada syariatnya, inilah yang dimaksud dengan harta yang sia-sia. Seyogyanya bagi manusia apabila menyalurkan hartanya pada perkara yang Allah ridhai dia menjadi orang yang percaya kepada janji Allah Ta’ala yang mana Dia berfirman di dalam kitab-Nya:

“Dan apapun yang engkau infaqkan dari sesuatu, maka Dia pasti akan memberi gantinya dan Dia adalah sebaik-baik pemberi rizki.” QS. Saba’: 39

Maknanya adalah Dia akan memberi kalian ganti darinya (apa yang telah diinfaqkan). Bukan maknanya bahwa Dia menggantikannya, sebab jika maknanya Dia menggantinya, maka makna ayat di atas adalah Allah menjadi pengganti setelahnya. Akan tetapi dia memberi ganti dari apa yang telah diinfaqkan.

Makna ayat di atas didukung pula dengan hadits

“ya Allah berikanlah aku pahala dalam peristiwa musibah yang menimpaku ini dan berilah ganti untukku yang lebih baik darinya.” Jangan mengatakan wakhluf li khairon minha, tetapi wa akhlif li khairon minha. Maknanya berilah rizki kepadaku sebagai ganti dari musibah itu dengan yang lebih baik darinya. Allah Ta’ala telah berjanji di dalam kitab-Nya bahwa apa yang diinfaqkan manusia, maka sesungguhnya Allah akan memberi ganti atassnya. Ini adalah makna yang menafsirkan perkataan rasulullah saw yang berbunyi;

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ اْلعِبَادُ فِيْهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا : اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَيَقُوْلُ الْآخَرُ : اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

Yang dimaksud dengan kalimat hadits ini, orang yang menahan hartanya untuk disalurkan kepada apa yang Allah wajibkan atasnya, dan bukan semua yang menahan didakwakan doa ini kepadanya, tetapi orang yang menahan hartanya dari menginfaqkan kepada perkara yang Allah wajibkan. Maka itulah yang dipanjatkan doa oleh malaikat bahwa semoga Allah membinasakannya dan membinasakan hartanya.

Yang dimaksud dengan kalimat di atas adalah orang yang menahan (hartanya) dari perkara yang Allah wajibkan atasnya, bukan semua yang orang yang menahan hartanya ketika ada panggilan tersebut. Akan tetapi yang dimaksud adalah orang yang menahan hartanya dari diinfaqkan pada perkara yang diwahibkan Allah padanya, maka dialah yang didoakan oleh malaikat, semoga Allah membinasakannya dan membinasakan hartanya.

At-talaf (binasa/lenyap) ada dua macam

Pertama: binasa/lenyap secara indrawi, yaitu harta yang sama itu hilang dengan cara didatangkan padanya musibah yang membakarnya atau mencurinya atau yang serupa dengan itu semua.

Kedua: binasa secara maknawi, yaitu dicabut keberkahannya. Di mana manusia tidak dapat mengambil manfaat dari kebaikannya. Di sini rasulullah saw pernah bersabda kepada para sahabatnya;

َُُّْ ﻣَﺎﻝُ ﻭَﺍﺭِِِ ﺃََُّ ﺇَِِْ ﻣِْ ﻣَﺎﻟِِ

“Siapakah dari kalian yang lebih mencintai harta orang yang mewariskan dari pada hartanya sendiri?” para sahabat menjawab; wahai rasulullah, tidak ada seorangpun dari kami melainkan hartanya sendirilah yang paling dia cintai, sehingga hartamu pastilah yang paling engkau cintai daripada hartanya Zaid, Amru dan Khalid meskipun mereka adalah para pewaris hartamu. Beliau saw bersabda:

ﻓَﺈِﻥَّ ﻣَﺎﻟَﻪُ ﻣَﺎ ﻗَﺪَّﻡَ وَمَالَ ﻭَﺍﺭِﺛِﻪِ ﻣَﺎ ﺃَﺧَّﺮَ

“Maka sesungguhnya hartanya adalah apa yang dia persembahkan dan harta yang diwariskan adalah yang ditinggal (mati).”

Ini adalah hikmah mulia orang yang mendapatkan gelar jawami’ al-kalim (baginda Nabi Muhammad saw). Hartamu adalah yang telah engkau persembahkan untu Allah Ta’ala yang akan engkau dapatkan kembali kelak pada hari kiamat. Sementara harta warisan adalah harta yang tersisa setelah kematianmu, orang yang akan memanfaatkan dan memakannya adalah para ahli warisnya, sehingga itu adalah harta warisanmu secara kakiki.

Maka infaqkanlah hartamu pada perkara yang Allah ridhai !  apabila engkau telah menginfaqkan pasti Allah akan memberi gantinya dan akan menanggung nafkahmu, sebagaimana rasulullah saw bersabda;

 

“Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak adam, berinfaqlah pasti Dia akan menanggung nafkahmu”

Dan sangat dianjurkan seseorang meninfakkan hartanya sesuai dengan yang disyariatkan Allah Azza wa Jalla.

Rasulullah saw bersabda:

لَا ﺣَََ ﺇِلَّا ﻓِْ ﺍﺛََِْْ

“Tidak diperkenankan berlaku hasad (iri) kecuali pada dua perkara.”

Yaitu ghibthah atau menginginkan menjadi seperti seseorang yang Allah berikan padanya berupa harta dan  yang lainnya kecuali pada dua hal:

Pertama: orang  yang Allah berikan padanya harta, dia mampu menghabiskannya di jalan yang haq.  Dia pun menjadi orang yang bersungguh-sungguh mengeluarkan hartanya dalam keridhaan Allah Ta’ala. Pada orang ini dia boleh iri. Sekarang anda perhatikan banyak perniagaan yang bermacam-macam, nah di antara mereka ada yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, dalam kebaikan-kebaikan, kegiatan baksos, menolong orang faqir, membangun masjid, membangun sekolah, mencetak buku, membantu jihad, dan yang semisalnya, maka ini bentuk menghabiskan harta di dalam al-haq.

Ada pula yang menghabiskan hartanya dalam kelezatan yang diharamkan oleh syariat, seperti safar ke luar negeri untuk zina, minum khamer, berjudi, dan menghabiskan hartanya untuk perkara yang Allah murka karenanya.

Kedua, orang yang Allah berikan padanya hikmah, yaitu ilmu, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman;

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ

“Dan Allah menurunkan kepadamu Al-kitab dan al-hikmah dan mengajarkan kepadamu apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya.” QS. An-Nisa: 113

Dia memerintahkan kepadanya dan mengajarkannya kepada manusia. Dia perintahkan dengan hikmahnya untuk dirinya dan keluarganya serta siapa saja yang mengadu kepadanya dan juga mengajarkannya kepada manusia. Tidak hanya sekadar manusia datang kepadanya, maka dia akan berkata, apabila mereka datang kepadaku saya akan berikan keputusan dan saya perintahkan, tetapi dia perintahkan dan mengajarkan apa yang diperbuatnya. Ini jelas dia adalah orang yang merasa senang atas pemberian yang Allah anugerahkan padanya berupa hikmah.

Derajat Manusia dalam Berhikmah

Ada golongan orang yang Allah berikan padanya al-hikmah lalu dia bakhil sampai untuk dirinya pun bakhil, dirinya sendiri tidak dapat bagian dari ilmunya, tidak melakukan ketaatan kepada Allah, dan tidak berhenti dari maksiat kepada Allah. Ini adalah kerugian, ini menyerupai orang yahudi yang mana mereka tahu kebenaran lalu mereka menyombongkan diri.

Ada lagi orang yang diberi hikmah lalu dia mengamalkannya untuk dirinya, akan tetapi tidak memberi manfaat kepada orang lain, golongan ini masih lebih baik dari sebelumnya, tetapi ada kekurangan.

Golongan lain yang Allah berikan padanya hikmah, lalu dia memerintahkannya dan mengamalkannya pada diri sendiri dan mengajarkannya kepada manusia, maka golongan ini adalah orang yang terbaik.

Dan di sana ada golongan yang keempat, yaitu orang yang tidak mendapatkan hikmah, yaitu orang bodoh. Orang ini terhalang dari banyak kebaikan, akan tetapi dia paling sedikit bahayanya dari pada orang yang diberi hikmah dan tidak mengamalkannya. Sebab dia hanya berpangku tangan tanpa mengajarkan ilmu dan tidak mengamalkannya.

Penulis : Ust. Wahyudin, M.Ag. (Pimpinan Dan Pengasuh Darul Aitam Khalid dan Sarah)

 

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.